Matas Ojol Artinya Apa? Ternyata Ini Jawabannya

Satupiston.com - Assalamu'alaikum. Fenomena “matas” di kalangan pengemudi ojek online (ojol) kini menjadi perbincangan hangat di berbagai komunitas pengemudi.
Istilah ini sering muncul dalam percakapan sehari-hari antar driver, terutama ketika mereka membahas peruntungan dalam mendapatkan order.
Meski terdengar sederhana, “matas” sebenarnya menggambarkan kondisi yang cukup kompleks dalam dunia kerja transportasi daring.
Dalam istilah yang digunakan para pengemudi, “matas” berasal dari singkatan “mangkas atas”, yang menggambarkan situasi ketika seorang driver tidak lagi mendapatkan order setelah menyelesaikan satu perjalanan, terutama menuju lokasi yang jauh dari pusat kota.
Fenomena ini biasanya terjadi saat pengemudi mengantarkan penumpang atau barang ke wilayah yang jarang memiliki permintaan order, seperti daerah perbatasan kota atau pedesaan.
Sebagai contoh, seorang pengemudi di Bandung yang mengantarkan penumpang dari kawasan BEC menuju Rajamandala, Kabupaten Bandung Barat, mungkin merasa perjalanan tersebut menguntungkan karena jaraknya jauh dan tarifnya tinggi.
Namun, kenyataannya tidak selalu demikian.
Setibanya di lokasi tujuan, sang driver sering kali mengalami “matas”, atau tidak mendapatkan pesanan lanjutan sama sekali.
Akibatnya, pengemudi harus menempuh perjalanan pulang dalam kondisi “kosong” tanpa penumpang, yang berarti tidak ada pemasukan namun tetap mengeluarkan biaya bahan bakar.
Situasi ini kerap menjadi dilema bagi para pengemudi.
Di satu sisi, mereka membutuhkan order jarak jauh untuk menambah penghasilan harian.
Namun di sisi lain, risiko “matas” membuat keuntungan dari perjalanan panjang bisa berbalik menjadi kerugian.
Fenomena “matas” tidak hanya dialami di Bandung, tetapi juga terjadi di berbagai kota besar lainnya seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan.
Driver sering kali menyebut area-area tertentu sebagai “zona sepi” karena rendahnya jumlah permintaan dari pelanggan.
Ketika seorang pengemudi memasuki wilayah tersebut, peluang mereka untuk mendapatkan order baru akan menurun drastis.
Beberapa pengemudi bahkan mencoba strategi tertentu agar terhindar dari kondisi “matas”.
Ada yang memilih hanya menerima order dalam radius tertentu dari pusat kota, ada pula yang menolak perjalanan menuju wilayah yang dikenal sepi pemesan.
Namun strategi semacam ini tidak selalu berhasil, terutama karena sistem aplikasi sering mengatur pembagian order secara otomatis.
Selain itu, beberapa pengemudi juga mengungkapkan bahwa algoritma aplikasi ojek online turut berpengaruh terhadap peluang mereka mendapatkan order.
Ketika seorang driver terlalu lama tidak mendapat pesanan, sistem bisa menilai akunnya kurang aktif, sehingga peluang order berikutnya bisa semakin kecil.
Dalam komunitas daring pengemudi, istilah “matas” sering dibahas bersamaan dengan keluhan soal efisiensi waktu dan bahan bakar.
Mereka menilai, rute perjalanan panjang menuju wilayah terpencil sering kali tidak sebanding dengan potensi keuntungan yang didapat.
Bahkan ada yang menyebut “matas” sebagai “jebakan jarak jauh” karena secara kasat mata terlihat menguntungkan, tetapi efeknya bisa merugikan dalam jangka panjang.
Fenomena ini juga menunjukkan tantangan nyata dalam sistem kerja gig economy di Indonesia.
Banyak pengemudi yang menggantungkan penghasilan harian pada keberuntungan algoritma dan permintaan pengguna, tanpa jaminan kestabilan pendapatan.
Kondisi “matas” menjadi cerminan ketimpangan distribusi order antara wilayah perkotaan padat dan daerah pinggiran.
Beberapa pakar transportasi daring menilai bahwa perusahaan penyedia aplikasi seharusnya memperhatikan persebaran order agar tidak menimbulkan beban tambahan bagi pengemudi.
Salah satu solusi yang sering diusulkan adalah sistem kompensasi atau “incentive backhaul”, yaitu bonus bagi driver yang harus kembali dari area sepi menuju pusat kota.
Dengan sistem ini, pengemudi tetap mendapatkan kompensasi meski pulang tanpa penumpang.
Selain itu, edukasi terhadap pengemudi juga dianggap penting.
Dengan memahami pola permintaan pelanggan dan waktu sibuk di tiap wilayah, pengemudi dapat merencanakan rute secara lebih efisien untuk menghindari risiko “matas”.
Di sisi lain, pengguna juga diharapkan lebih memahami kondisi pengemudi.
Order ke wilayah terpencil sebaiknya disertai pemberian tip yang pantas, mengingat perjalanan semacam itu bisa berdampak pada berkurangnya peluang order bagi driver.
Fenomena “matas” pada akhirnya bukan sekadar soal tidak dapat order, tetapi juga mencerminkan realitas sosial dan ekonomi dalam dunia kerja berbasis aplikasi.
Istilah ini kini menjadi simbol dari perjuangan para pengemudi ojol dalam menyeimbangkan kebutuhan antara waktu, tenaga, dan pendapatan di tengah sistem digital yang serba cepat.
Dengan meningkatnya kesadaran publik terhadap kondisi ini, diharapkan akan muncul solusi yang lebih manusiawi baik dari sisi platform maupun kebijakan pemerintah.
Karena di balik istilah “matas” yang terdengar ringan, tersimpan kisah nyata perjuangan ribuan pengemudi yang setiap hari berjuang di jalanan demi menghidupi keluarganya.
Wassalamu'alaikum.