Kementrian Lingkungan Hidup Sebut Cara Razia Knalpot Racing Salah, Kenapa?

Satupiston.com – Assalamu’alaikum. Kembali lagi pada artikel kami.
Kali ini ada berita cukup menarik dari dunia perknalpotan.
Yips, seperti yang kita ketahui
bahwa sekarang ini tengah marak operasi atau razia knalpot bising atau racing
atau secara pukul rata adalah semua knalpot aftermarket non standar kena razia.
Hal tersebut tentunya cukup menarik
banyak perhatian terutama pelaku usaha knalpot aftermarket hingga pengguna
knalpot aftermarket tersebut.
Nah belakangan, banyak pro kontra
mengenai razia knalpot ini. Tetapi sebenarnya isunya sudah bergulir sejak lama.
Pro kontra tersebut lahir dari
dipukul ratanya tiap pengguna knalpot non standar. Padahal, yang jadi acuan
penindakan ada dasar hukumnya.
Sebut saja jika kami boleh bicara,
dasar hukum pertama adalah Pasal 285 UU Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan yang bunyinya adalah sebagai berikut:
Motor
(Pasal 285 ayat 1) |
Mobil
(Pasal 285 ayat 2) |
Setiap pengendara
sepeda motor yang tidak memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan seperti
spion, lampu utama, lampu rem, klakson, pengukur kecepatan, dan knalpot
dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 bulan atau denda
paling banyak Rp 250 ribu |
Setiap pengendara
mobil yang tidak memenuhi persyaratan teknis seperti spion, klakson, lampu
utama, lampu mundur, lampu rem, kaca depan, bumper, penghapus kaca dipidana
dengan pidana kurungan paling lama 2 bulan atau denda
paling banyak Rp 500 ribu |
Meski pada pasal 285 ayat 2 tidak menyebutkan knalpot, namun ada kata seperti yang artinya apa yang tertuang dalam pasal dan ayat tersebut masih sebagai contoh dan belum mencakup persyaratan teknis secara komprehensif atau menyeluruh.
Jadi bagi pengguna sepeda motor yang kena tilang karena alasan knalpot dan dikenai pasal 285 ayat 1, maka sanksinya adalah kurungan paling lama 1 bulan atau diganti dengan denda paling banyak 250 ribu.
Adapun bagi pengguna mobil, kemungkinan akan dikenai ancaman kurungan paling lama 2 bulan atau diganti dengan denda paling banyak 500 ribu.
Yang perlu diingat adalah bahwa apa yang tertuang pada pasal dan ayat tersebut menyebutkan denda dan kurungan secara maksimal. Itu artinya kita bisa saja dikenai hukuman yang jauh lebih ringan dari apa yang tertera pada pasal dan ayat-ayat tersebut.
Lalu sebenarnya dasar hukum di atas
masih rancu, hal tersebut karena knalpot yang tidak layak itu tafsirannya cukup
luas dan mungkin sangat ambigu.
Karenanya, biasanya diambil dasar
hukum lain sebagai penguat yakni Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan Nomor P.56 Tahun 2019 tentang baku Mutu Kebisingan Kendaraan Bermotor
Tipe Baru dan Kendaraan Bermotor yang Sedang Diproduksi Kategori M, Kategori N,
dan Kategori L.
Adapun dikutip dari otomotif.kompas.com,
disebutkan bahwa metoda yang dilakukan untuk mengukur kebisingan knalpot racing
oleh Kasi Gar Subdit Gakkum Ditlantas Polda Lampung Kompol Poeloeng Arsa Sidanu
adalah sebagai berikut:
Untuk mengukurnya, kita menggunakan sound level meter atau decibel (dB) meter. Saat pengukuran, jarak dan ketinggian alat pengukurnya adalah 1 meter dari ujung knalpot. Diupayakan untuk mengukurnya di tempat yang hening, tidak ada keramaian
Di sisi lain, Wisnu Eka Yulyanto
selaku Kabid Metrologi dan Kalibrasi Puslitbang Kualitas dan Laboratorium
Lingkungan (P3KLL) Badan Litbang dan Inovasi (BLI) Kementerian Lingkungan Hidup
dan Kehutanan (KLHK) mengatakan bahwa:
Kalau yang saya katakan emisi bising statis, itu belum ada baku mutunya. Jadi, yang banyak dipakai itu yang dinamis, itu salah kaprah. Kalau yang dinamis yang dipakai, itu metode ujinya lain, untuk yang uji tipe tipe approval… Dulu kita pernah pakai yang manual, tapi banyak masalah. Jadi, kecepatan kendaraannya ada ketentuan, kalau mau mengikutinya itu namanya ECE R41… Itu yang bahayanya, kasihan teman-teman pemilik sepeda motor ketangkap semua. Ya, tidak mungkinlah di bawah itu (nilai kebisingannya). Itu digunakan untuk tipe approval dan cara atau metodenya saja sudah salah. Jadi, untuk yang statis memang belum ada… Apalagi yang sekarang, peraturan nomor 56, itu alat ujinya sangat mahal. Itu investasi tahun 2011 aja harganya hampir Rp 4 miliar… Metode pengukurannya pun tidak sembarangan tempat, background noise harus 10 dB perbedaaannya. Jadi, misalkan saya ukur di Jalan Jend. Sudirman. Saya ukur background noise 72 dB. Lalu, saya ukur knalpot dan hasilnya 75 dB, itu tidak sah. Jadi, minimal yang harus ada bisingnya itu 82 dB, yang bisa kita ambil valid datanya.
Cukup mengejutkan memang, terlebih
bila kita ingat ada metode lain yang digunakan untuk mengecek kebisingan
knalpot, yakni metode dengar suara knalpot dari jarak dekat dari telinga saat
mesin motor tengah digeber (ini UU mana ya?).
Well, terlepas dari itu semua,
masalah seperti ini memang akan selalu ada pro dan kontra, termasuk akan ada
cara pandang yang berbeda baik yang di lapangan (praktisi) maupun dari pemangku
kepentingan lain.
Sebagai seorang blogger, kami
sarankan sih lebih baik gunakan dulu knalpot standarnya hingga ada kejelasan
mengenai undang-undang yang diterapkan.
Artikel ini kami cukupkan sampai di
sini, akhir kata semoga bermanfaat dan sampai jumpa.
Wassalamu’alaikum.