Kredit Motor Tanpa Riba ??? Begini Ciri-Cirinya
Daftar Isi
Satupiston.com – Assalamu’alaikum, kembali lagi pada
artikel kami. Kali ini kita akan membahas mengenai ciri-ciri kredit motor tanpa
riba.
Sebelum melanjutkan, kami akan sedikit memberi tahu bahwa
artikel ini merupakan artikel yang cukup panjang. Oleh sebab itu ada baiknya
membaca artikel ini dengan seksama agar mudah dipahami dan tidak membuat kita
pusing.
Perhatian: Artikel ini ditulis bukan dari seorang “ahli”, saya pribadi hanya lulusan S1 Jurusan Ekonomi Syariah dan belum ahli. Namun saya harap lewat artikel ini kita bisa sama-sama belajar.
Jika bicara soal sepeda motor, ada kalanya kita membutuhkan
unit sepeda motor untuk memenuhi aktivitas sehari-hari.
Namun sayangnya, terkadang tidak semua orang dikaruniai
rezeki yang “lebih”, hingga kadang untuk membeli sepeda motor harus dilakukan
dengan cara diangsur.
Lembaga yang biasa menawarkan kredit kendaraan bermotor
sendiri biasanya adalah leasing serta
bank.
Dalam praktiknya, sebagian dari kita umat Muslim kadang ragu,
apakah kredit sebenarnya mengandung riba atau tidak?
Mengapa muncul keragu-raguan tersebut? Hal tersebut karena
riba sendiri merupakan perbuatan dosa besar yang mana dalam Al-Qur’an secara
jelas sudah dilarang.
Perbedaan Kredit dan Pembiayaan
Sepintas antara kredit maupun pembiayaan tidak ada bedanya
bukan? Tapi apakah benar demikian? Dari hasil studi pustaka kami, hal tersebut
tidaklah demikian.
Pembiayaan dalam Kamus Bahasa Indonesia memiliki arti “segala sesuatu
yang berkenaan dengan ongkos atau biaya”.
Sedangkan pembiayaan sendiri dalam sistem lembaga keuangan
konvensional lebih dikenal sebagai kredit. Kredit sendiri dalam
Kamus Bahasa Indonesia berartikan cara menjual barang dengan pembayaran
diangsur (dicicil); pinjaman uang dengan pengembaliannya diangsur.
Sedangkan menurut M. Nur Rianto Al Arif (2012: 42),
pembiayaan adalah:
Pembiayaan atau financing ialah pendanaan yang diberikan oleh suatu pihak kepada pihak lain untuk mendukung investasi yang telah direncanakan, baik dilakukan sendiri maupun lembaga. Dengan kata lain, pembiayaan adalah pendanaan yang dikeluarkan untuk mendukung investasi yang telah direncanakan.
Secara peruntukan bahasa dalam pengklasifikasian, kredit dan
pembiayaan sebenarnya memiliki perbedaan.
Dimana biasanya kredit digunakan untuk perjanjian (akad) yang
bersifat konvensional, sedangkan pembiayaan biasanya digunakan untuk perjanjian
secara syariah (dapat dilakukan secara murabahah
hingga ijarah).
Kredit identik “pembayaran secara angsur”, sedangkan pembiayaan
identik dengan “pemberian dana” yang mana dalam pembiayaan pun ada opsi untuk
mengembalikan dana dengan cara diangsur.
Jadi secara akademik dan praktisi dalam bidang ekonomi syariah,
pembelian motor secara angsur yang tidak ada ribanya lebih dikenal dengan
pembiayaan.
Namun meski begitu, secara umum kita lebih mengenal pembelian
motor secara angsur dengan kata kredit (meskipun transaksi yang digunakan
adalah pembiayaan).
Pengertian Riba
Tidak afdol rasanya bila kita dari tadi bahas mengenai kredit
dan pembiayaan namun tidak membahas mengenai poin utama dalam artikel ini yakni
mengenai riba.
Menurut Abdullah Saeed dalam Muhammad Syafi’i Antonio (2001:
37):
Riba secara bahasa bermakna ziyadah (tambahan). Dalam pengertian lain, secara linguistik, riba juga berarti tumbuh dan membesar. Adapun menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil. Ada beberapa pendapat pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam meminjam secara batil atau bertentangan dengan prinsip muamalah dalam Islam.
Menurut Iggi H. Achsien (2000: 28) riba dilarang karena juga
termasuk dalam kategori mengambil atau memperbolehkan harta dengan cara tidak
benar, wrongful devouring of property.
Dalil Pelarangan Riba
Riba secara jelas dilarang dalam Agama Islam, salah satu
dalilnya tertuang dalam surat Al-Baqarah ayat 275 yang mana artinya adalah
sebagai berikut:
Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri, melainkan seperti orang berdirinya orang yang kemasukan setan karena gila. Yang demikian itu karena mereka berkata bahwa jual beli sama dengan riba. Padahal, Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Barang siapa mendapatkan peringatan dari Tuhannya, lalu dia berhenti, maka apa yang telah diperolehnya dahulu menjadi miliknya dan urusannya (terserah) kepada Allah. Barang siapa yang mengulangi, maka mereka itu penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.
Barang Ribawi
Sebelum masuk lebih dalam, kami akan sajikan beberapa
informasi atau teori tambahan mengenai riba. Salah satunya adalah mengenai
barang ribawi yang mana diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Emas dan perak, baik itu dalam bentuk uang maupun dalam
bentuk lainnya.
2. Bahan makanan pokok, seperti beras, gandum, dan jagung,
serta bahan makanan tambahan, seperti sayur-sayuran dan buah-buahan.
Teknis Transaksi Yang Tidak Riba
Barang ribawi di atas dapat menjadi riba dan dapat juga tidak
menjadi riba. Agar barang ribawi tidak menjadi riba, maka transaksi harus
dilakukan dengan teknis sebagai berikut:
1. Jual beli antara barang-barang ribawi sejenis hendaklah
dalam jumlah dan kadar yang sama. Barang tersebut pun harus diserahkan saat
transaksi jual beli. Misalnya, rupiah dengan rupiah hendaklah Rp. 5.000,00
dengan Rp. 5.000,00 dan diserahkan ketika tukar-menukar.
2. Jual beli antara barang-barang ribawi yang berlainan jenis
diperbolehkan dengan jumlah dan kadar yang berbeda dengan syarat barang
diserahkan pada saat akad jual beli. Misalnya, Rp. 5.000,00 dengan 1 Dollar
Amerika.
3. Jual beli barang ribawi dengan yang bukan ribawi tidak
disyaratkan untuk sama dalam jumlah maupun untuk diserahkan pada saat akad.
Misalnya mata uang (emas, perak, atau kertas) dengan pakaian.
4. Jual beli antara barang yang bukan barang-barang ribawi
diperbolehkan tanpa persamaan dan diserahkan pada waktu akad, misalnya pakaian
dengan barang elektronik (barter).
Jenis-Jenis Riba
Nah riba terdapat jenis-jenisnya. Sengaja kami paparkan
terlebih dahulu mengenai teori-teori dasar mengenai riba dan cakupannya, supaya
nanti pas kita membahas mengenai “kredit motor tanpa riba” kita bisa lebih
yakin akan keshahihan-nya.
Jenis-jenis riba menurut Muhammad Syafi’i Antonio (2001: 41)
antaralain:
1. Riba qord suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu
yang disyaratkan terhadap yang berhutang (muqtaridh).
2. Riba jahiliyyah adalah utang dibayar lebih dari pokoknya
karena si peminjam tidak mampu membayar untangnya pada waktu yang ditetapkan.
3. Riba fadhl pertukaran antarbarang sejenis dengan kadar
atau takaran yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk
dalam jenis barang ribawi.
4. Riba nasi’ah adalah penangguhan penyerahan atau penerimaan
jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba
dalam nasi’ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara
yang diserahkan saat ini dan yang diserahkan kemudian.
Pengertian Murabahah
Loh ini apa lagi? Sekedar informasi, murabahah merupakan suatu akad atau jenis transaksi dalam melakukan
pembiayaan.
Mengetahui mengenai murabahah
menjadi penting karena ini merupakan suatu transaksi yang dapat membedakan
antara kredit secara riba maupun secara tidak riba.
Ibni Rusyd dalam Herry Sutanto dan Khaerul Umam (2013: 181),
mendefinisikan murabahah sebagai:
Murabahah adalah akad jual beli barang atas barang tertentu, yaitu penjual menyebutkan dengan jelas barang yang diperjual belikan, termasuk harga pembelian barang kepada pembeli, kemudian ia mensyaratkan atasnya laba/ keuntungan dalam jumlah tertentu.
Sedangkan menurut Herry Sutanto dan Khaerul Umam (2013: 181),
murabahah adalah:
Murabahah adalah akad jual beli antara bank selaku penyedia barang, dan nasabah yang memesan untuk membeli barang dagang. Bank memperoleh keuntungan yang disepakati bersama. Berdasarkan akad jual beli dimaksud, bank membeli barang yang dipesan dan menjualnya kepada nasabah. Harga jual bank adalah harga beli dan supplier ditambah keuntungan yang disepakati. Oleh karena itu, nasabah mengetahui besarnya keuntungan yang diambil bank. Cara pembayaran dan jangka waktunya disepakati bersama, dapat secara lumpsum ataupun dengan cara angsuran.
Adapun murabahah menurut Muhammad Ibn Ahmad Ibnu Muhammad Ibn
Rusyd dalam Muhammad Syafi’i Antonio (2001: 101) adalah jual beli barang pada
harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati. Dengan demikian,
murabahah dapat dikatakan sebagai proses jual beli yang terjadi antara penjual
atau perantara penjualan (bank) dan pembeli sebagai nasabah, yang harga,
barang, keuntungan, hingga proses pembayarannya telah dibicarakan dan
disepakati sebelum proses jual beli tersebut terjadi.
Dalil Diperbolehkannya Murabahah
Murabahah sejatinya merupakan akad jual beli. Jual beli
sendiri diperbolehkan karena merupakan tindakan muamalah yang mana prinsip tindakan muamalah adalah diperbolehkan selama tidak ada larangan.
Jual beli dapat dilarang karena beberapa faktor salah satunya
adalah karena adanya riba, gharar (ketidak jelasan), judi, hingga syarat dan
rukun jual beli yang cacat (misal karena barang hasil curian, yang menjual atau
membeli tidak berakal, dan lain sebagainya).
Adapun dalil lain yang memperbolehkannya murabahah adalah
hadits riwayat Ibnu Majah dalam Muhammad Syafi’i Antonio (2001:102) yang
berbunyi “..tiga hal yang di dalamnya
terdapat keberkahan: jual beli secara tangguh, muqaradhah (mudharabah), dan
mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah bukan untuk dijual…”
Rukun dan Syarat Murabahah
Rukun
Karena prinsip dasar dari murabahah adalah jual beli, maka
secara umum rukun dan syaratnya pun mengikuti rukun dan syarat dari jual beli
dalam muamalah Islam. Adapun menurut Hendi Suhendi (2010: 70), rukun dari jual
beli ada tiga, yaitu akad (ijab kabul), orang-orang yang berakad (penjual dan
pembeli), dan ma’kud ‘alaih (objek akad).
Syarat
Syarat murabahah menurut Muhammad Syafi’i Antonio (2001: 102)
adalah sebagai berikut:
a). Penjual memberi tahu biaya modal kepada nasabah. b). Kontrak pertama harus sah sesuai dengan rukun yang ditetapkan. c). Kontrak harus bebas dari riba. d). Penjual harus menjelaskan kepada pembeli bila terjadi cacat atas barang sesudah pembelian. e). Penjual harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara utang. Secara prinsip, jika syarat dalam (a), (d), dan (e) tidak terpenuhi, pembeli memiliki pilihan: a). Melanjutkan pembelian seperti apa adanya. b). Kembali kepada penjual dan menyatakan ketidak setujuan atas barang yang dijual. c). Membatalkan kontrak.
Murabahah Kepada Pemesan Pembelian (KPP)
Menurut Muhammad Syafi’i Antonio (2001:103):
Jual beli secara al-murabahah di atas hanya untuk barang atau produk yang telah dikuasai atau dimiliki oleh penjual pada waktu negosiasi dan berkontrak. Bila produk tersebut tidak dimiliki oleh penjual, sistem yang digunakan adalah murabahah kepada pemesan pembelian (KPP). Hal ini dinamakan demikian karena si penjual semata-mata mengadakan barang untuk memenuhi kebutuhan si pembeli yang memesannya. Secara lengkap, sistem jual beli ini dapat dijelaskan sebagai berikut.
Adapun menurut Muhammad Syafi’i Antonio (2001:103), tujuan
murabahah kepada pemesan pembelian (KPP) adalah:
Ide tentang jual beli murabahah KKP tampaknya berakar pada dua alasan berikut: Pertama, mencari pengalaman. Satu pihak yang berkontrak (pemesan pembelian) meminta pihak lain (pembeli) untuk membeli sebuah aset. Pemesan berjanji untuk ganti membeli aset tersebut dan memberinya keuntungan. Pemesan memilih sitsem pembelian ini yang biasanya dilakukan secara kredit, lebih karena ingin mencari informasi dibanding alasan kebutuhan yang mendesak terhadap aset tersebut. Kedua, mencari pembiayaan. dalam operasi perbankan syariah, motif pemenuhan pengadaan aset atau modal kerja merupakan alasan utama yang mendorong datang ke bank. Pada gilirannya, pembiayaan yang diberikan akan membantu memperlancar arus kas (cash flow) yang bersangkutan. Cara menjual secara kredit sebenarnya bukan bagian dari syarat sistem murabahah atau murabahah KPP. Meskipun demikian, transaksi secara angsuran ini mendominasi praktik pelaksaan kedua jenis murabahah tersebut. Hal ini memang karena seseorang tidak akan datang ke bank kecuali untuk mendapat kredit dan membayar secara angsur.
Ciri-Ciri Kredit Motor Tanpa Riba
Setelah kita melalui sesi teori yang cukup panjang, maka kita
sampai ke poin utama dari artikel ini yakni mengenai ciri-ciri kredit motor
tanpa riba.
Ini akan kami papar dengan sesederaha mungkin, tetapi jika
masih belum paham, ya maafkan kami hehe.
Baiklah untuk lebih memperjelas, kami akan berikan ciri-ciri
kredit motor tanpa riba secara numerik.
Setidaknya transaksi kredit motor yang bebas riba harus
memenuhi unsur sebagai berikut:
1. Setidaknya akad yang digunakan adalah murabahah atau akad tijarah lain
Tijarah sendiri merupakan akad atau
transaksi untuk keperluan komersil atau ekonomi. Dengan demikian si penjual
harus memiliki barang yang hendak dijual. Hal tersebut bertujuan guna
menghindari riba qord yakni penambahan keuntungan atas uang pinjaman (jika
statusnya penjual tidak memiliki barang dan hanya memberikan uang). Ingat
!!! barang ribawi yakni uang tidak akan menjadi riba jika diperjual
belikan dengan barang non ribawi seperti sepeda motor. Jikalaupun si penjual belum memiliki barangnya, maka dapat menggunakan akad murabahah kepada pemesan pembelian. Yakni pembeli memesan barang sesuai spesifikasi tertentu (misal ingin beli motor Ninja 250) pada penjual, maka si penjual harus membeli secara cash terlebih dahulu Ninja 250 tersebut selanjutnya barangnya di jual pada pembeli.
2. Penjual memberi tahu modal pembelian kepada pembeli
Jadi misal
penjual membeli motor seharga 17 juta pada dealer
motor, maka si penjual harus jujur mengatakan harga pembeliannya pada
pembeli beserta biaya lain-lainya (misal biaya kirim dan pembuatan surat-surat
kendaraan jadi total modal yang dikeluarkan bisa sampai 18 juta).
3. Penjual dan pembeli harus menyetujui margin atau keuntungan yang diberikan oleh si pembeli pada penjual
Karena ini adalah jual beli yang termasuk pada tijarah, maka tentunya harus ada keuntungan. Bedanya dengan kredit
secara konvensional, dalam kredit (pembiayaan) syariah, antara pembeli dan
penjual sudah tahu harga jual dan keuntungannya, serta keduanya sama-sama
menyepakatinya. Kadang pula akad murabahah
ini dijalankan sesuai dengan contoh Rasulullah S.A.W, yakni si penjual yang
membiarkan pembeli untuk memberikan keuntungan dari jual beli dengan “seikhlasnya”.
Namun perlu dicatat bahwa sekali lagi murabahah
merupakan akad yang bersifat tijarah atau
komersil dan bukan akad tabarru’ atau
tolong-menolong. Itu artinya harus ada keuntungan dalam transaksi komersil
termasuk pada transaksi murabahah.
4. Keuntungan harus bersifat tetap atau flat
Jadi jika di awal disepakati bahwa penjual menjual motor pada
pembeli dengan harga 19 juta lalu pembayaran dilakukan secara angsur perbulan
selama 2 tahun, maka tiap bulan angsurannya harus Rp. 791.666,667 (angsuran belum
dihitung dengan uang muka). Nah karena
pembayarannya dilakukan dengan cara angsur, maka transaksi ini dinamai sebagai “Pembiayaan
Murabahah” dan bukan hanya “Murabahah”.
5. Kontrak harus sesuai dengan rukun jual beli
Yakni akad
atau ijab kabul yang biasanya dilakukan dengan surat-menyurat (isi formulir
persetujuan, surat perjanjian, surat kesepakatan, dan lain-lain). Orang-orang
yang berakad (penjual dan pembeli), dan ma’kud ‘alaih (objek akad yakni sepeda
motor). Kontrak ini harus disampaikan dengan jelas oleh penjual dan jika ada
cacat pada barang, maka penjual juga harus membertahu pada pembeli.
6. Kontrak harus terbebas dari riba
Kemungkinan riba yang
dapat terjadi pada transaksi jual beli adalah riba jahiliyyah yakni utang
dibayar lebih dari pokoknya karena si peminjam tidak mampu membayar utangnya
pada waktu yang ditetapkan. Dalam peraktiknya riba jahiliyyah biasanya dikenal
dengan denda. Namun denda ini pun masih terbilang pro dan kontra. Tapi sebagian ulama memandang bahwa denda ini
diperbolehkan asal tujuannya sebagai “hukuman” atas cacatnya akad yang
dilakukan oleh pembeli. Dengan catatan bahwa denda tidak boleh “dimakan” oleh
si penjual dan harus diberikan pada dana kebajikan (seperti shadaqah, infak,
dan lain sebagainya). Oleh karenannya sebelum kita menyetujui transaksi, maka
ada baiknya kita bertanya pada penjual (baik itu bank atau lembaga keuangan
lain), “kemana uang denda akan diberikan jika pembeli melakukan gagal bayar???”.
Nah idealnya kredit motor tanpa riba harus mengindahkan
unsur-unsur di atas yang sudah kami bahas sebelumnya.
Namun fakta di lapangan (kami pernah melakukan peraktik kerja
lapangan dan melakukan penelitian mengenai pembiayaan murabahah di salah satu
bank syariah di daerah kami), tidak semua unsur pembiayaan murabahah
terlaksana.
Tetapi, jikalau pun semua unsur anti riba di atas belum
terpenuhi sepenuhnya, maka setidaknya kita telah berusaha dan berjuang untuk
meninggalkan peraktik ribawi walaupun tidak maksimal.
Mungkin artikel ini pun akan menuai pro dan kontra karena
kami sadari ada beberapa mazhab yang berlainan pandangan mengenai peraktik
ribawi.
Sekali lagi, kami memposisikan diri bukan sebagai ahli dan
kami menulis artikel ini semata-mata untuk pembelajaran kita bersama. Jadi mohon
maaf jika ada kesalahan dalam penulisan maupun dalam pemahaman.
Daftar Pustaka
1. Achsien, Iggi. H, (2000). Investasi Syariah di Pasar
Modal: Menggagas Konsep dan Praktek Portofolio Syariah, Jakarta: Gramedia.
2. Agustin, Risa, [t.t.]. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Surabaya:
Serba Jaya.
3. Al Arif, M. Nur Rianto, (2012). Dasar-Dasar Pemasaran Bank
Syariah, Bandung: Alfabeta.
4. Antonio, Muhammad Syafi’i, (2001). Bank Syariah: Dari
Teori ke Praktik, cet. ke-1, Jakarta: Gema Insani.
5. Muhammad, (2005). Bank Syari’ah: Problem dan Prospek Perkembangan
di Indonesia, cet. ke-1, Yogyakarta: Graha Ilmu.
6. Suhendi, Hendi, (2010). Fiqh Muamalah, cet. ke-5, Jakarta:
Rajawali Pers.
7. Sutanto, Herry dan Umam, Khaerul, (2013). Manajemen
Pemasaran Bank Syariah, cet. ke-1, Bandung: Pustaka Setia.
Artikel ini kami cukupkan sampai di sini, akhir kata semoga
bermanfaat dan sampai jumpa.
Wassalamu’alaikum.